Rabu, 05 Oktober 2011

MENGHELA BADAI

Kita telah penat menyusuri kesunyian
Pantai kematian itu. Menggoreskan
Nama-nama keabadian sepanjang pesisir
Lambai nyiur menjelma kidung senja
Yang diarak menuju peraduan musim
Selalu, melulu menciptakan denah-denah
Diatas pasir yang kemudian kembali
Lenyap dalam kekuasaan angin.
Laut hanya mampu mengembangkan sauh
Pada keterbentangan jarak, kejauhan
Memintal deru ombak dalam kepala
Jangkar-jangkar terburai, pecah
Membatasi kecongkakan karang, sia-sia
Ah, haruskah kita menghela badai
Padahal, setiap desah nafas terlanjur setia
Mengiringi gelombang kesejukan ketiap-tiap
dermaga. Membiarkan deru yang berhempasan
dari setiap kuyuh. Mestikah menghembuskan
kembali buih kehidupan kedalam keleluasaan
cakrawala?sementara, pelabuhan selalu
menenggelamkan bara matahari
dalam kerindangan kamar-kamar
rembulan, membangun fatamorgana yang
terlupakan. Dibantai kegetiran ombak
menyulut buih-buih yang reda pada
keterhamparan samudra melalaikan batas
kita seperti menghela badai
meniup-tiupkan kapal-kapal dendam pada
gemuruh nafsu yang bertahta disegala fikir
kita hanya mampu menjadi nafas
yang kemudian kembali pada janji kesejatian
mempertegas gelombang kesetiaan
yang diwariskan roh-roh zaman
Bohemian Jambi, 14 Mei 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar